Friday, May 25, 2012

Pilkada DKI

Tim sukses pasangan cagub dan cawagub DKI Jakarta melakukan berbagai cara untuk memenangkan jagoannya dalam pertarungan di Pilkada DKI.

Salah satu cara yang diambil adalah mempengaruhi opini publik menggunakan survei. Sehingga survei yang dihasilkan kehilangan nilai akurasi dan objektivitasnya.

Peneliti senior The Jakarta Institute (TJI), Ubaidillah, menyayangkan sejumlah lembaga survei yang mengabaikan akurasi riset untuk kepentingan kandidat tertentu.

"Perang survei jelas terlihat dari proses survei yang tidak akurat. Menggunakan sampel respondedn yang tidak berbanding dengan jumlah objek survei itu sendiri. Sehingga tidak mengherankan jika hasil survei antara lembaga saling berbeda. Terlihat memenangkan kandidat tertentu, tapi membolak-balik kandidat lain, padahal dilakukan dalam rentang waktu bersamaan," ujar Ubaidillah kepada wartawan, Jumat (25/5/2012).

Ubaidillah mengatakan untuk survei elektabilitas calon di pilkada, semestinya mengambil jumlah sampel yang representatif dengan jumlah pemilih. Dia mencontohkan, jika jumlah pemilih dalam pilkada DKI berdasarkan DPS sekitar 7 juta orang, maka sampel yang harus diambil tidak boleh kurang dari 1000 responden.

Menurutnya, responden 440 orang dalam survei yang dilakukan lembaga tertentu, terlalu sedikit. Mempertimbangkan ada 44 kecamatan dan 267 kelurahan.

Apalagi jika menggunakan Multistage Random Sampling, menurutnya, responden yang dipilih harus banyak karena dapat terjadi eror pada setiap tingkatan.

"Dengan 400 responden, saya tidak bisa bayangkan, Minimal seharusnya 1100 responden. itupun hanya bisa memotret provinsi lebih utuh, tidak mungkin hingga kecamatan. Sehingga akurasinya dipertanyakan," tuturnya.

Jika sampel yang diambil kurang dari 1000 responden, sistem survei yang tepat dipakai adalah simple random sampling.

"Jelas tidak akurat jika sampel 400 untuk Multistage Random Sampling. Apalagi konteks Jakarta," jelas bekas peneliti Asia Foundation ini.

No comments: